TELIKSANDI
NEWS TICKER

Aksi KDPK Jawa Tengah: Dorong dan Majukan Pertanian Keluarga

Rabu, 25 September 2019 | 12:25 am
Reporter:
Posted by: admin
Dibaca: 648

JATENG, TELIKSANDI.ID – Sejumlah pemuda dan petani  yang tergabung dalam Komite Daerah Pertanian Keluarga (KDPK) Jawa Tengah pada Senin (23/9) menggelar aksi demo  menyambut Hari Tani Nasional yang jatuh pada hari selasa 24 September.

Demo dilakukan dengan berjalan kaki sambil membentangkan sejumlah poster. Start dari sekitar Kampus I IAIN Salatiga kemudian menuju Bundaran Tamansari untuk mereka berorasi bundaran itu. Usai berorasi mereka membubarkan diri dengan tertib

Koordinator Komite Daerah Pertanian Keluarga (KDPK) Jawa Tengah, Syukur Fahruddin mengatakan, Tahun Internasional Pertanian Keluarga telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 2014, dinilai berhasil menorehkan berbagai capaian.

Selanjutnya, dengan didukung berbagai organisasi masyarakat dan badan-badan PBB seperti FAO dan IFAD, pada Desember 2017, PBB menetapkan tahun 2019-2028 sebagai “Dasawarsa Internasional Pertanian Keluarga” (International Decade on Family Farming), disebut UNDFF 2019-2028.

“Deklarasi UNDFF 2019-2028 juga telah “memandatkan” negara-negara anggota PBB untuk mewujudkan dasawarsa tersebut melalui Rencana Aksi Nasional di tiap negara,” terang Koordinator Komite Daerah Pertanian Keluarga (KDPK) Jawa Tengah.

Lebih lanjut dia menjelaskan, dasawarsa ini ditujukan sebagai sarana untuk melanjutkan upaya-upaya pemajuan kebijakan publik yang terkait dengan pertanian keluarga, sekaligus menjadi peluang bagi bangsa-bangsa di dunia untuk menyumbang kepada tercapainya tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan tersebut, khususnya pengentasan kemiskinan, penghentian kelaparan, pemajuan ketahanan pangan, peningkatan gizi dan pertanian berkelanjutan, yang melibatkan peran penting generasi muda dan perempuan di dalamnya.

Komite Daerah Pertanian Keluarga (KDPK) Jawa Tengah turut mendorong peningkatkan partisipasi organisasi-organisasi petani dalam kegiatan-kegiatan pemerintah, dan peningkatan pelayanan publik terkait pertanian keluarga di berbagai level.

“Selain itu, Komite Daerah Pertanian Keluarga (KDPK) Jawa Tengah, juga memperkuat kapasitas platform dalam partisipasinya memajukan dialog atau konsultasi publik untuk pembangunan berkelanjutan dari sistem-sistem pertanian yang berbasis pertanian keluarga. Kami juga mendorong peningkatkan keterlibatan KDPK Jawa Tengah dalam proses-proses dialog kebijakan di berbagai level,” imbuhnya.

Pasca Tahun Internasional Pertanian Keluarga 2014, yaitu dalam kurun waktu 2015-2018. Menurutnya Komite Daerah Pertanian Keluarga (KDPK) Jawa Tengah telah melakukan berbagai kegiatan berupa, sosialisasi dan konsultasi tentang pertanian keluarga, dan studi tentang pentingnya peran pertanian keluarga dalam matapencaharian yang berkelanjutan di perdesaan.

Bukan hanya itu, Komite Daerah Pertanian Keluarga (KDPK) Jawa Tengah juga menyusun panduan advokasi; menyelenggarakan lokakarya tentang kebijakan publik yang mendukung pertanian keluarga; monitoring kebijakan-kebijakan yang terkait pertanian keluarga, serta mendokumentasikan inisiatif-inisiatif lokal dan praktik-praktik yang baik mengenai pertanian keluarga; dan berpartisipasi dalam kegiatan terkait pertanian keluarga.

Pria yang akrab disapa Sonde dalam orasinya ini menyebutkan, berdasarkan data FAO, pertanian keluarga menghasilkan lebih dari 80% pangan di dunia dengan mengolah sekitar 70%-80% lahan pertanian, dan lebih dari 90% pertanian dilakukan oleh individu atau keluarga. 

“Di Indonesia, pertanian keluarga atau rumah tangga pertanian sebanyak 26,2 juta pada tahun 2013 (ST BPS, 2019), dan sebanyak 27,6 juta pada tahun 2018 (SUTAS BPS, 2018),” ungkapnya. 

Dalam kurun waktu tahun 2003-2013, jumlah rumah tangga petani di Indonesia mengalami penurunan. Hasil pendataan Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan rumah tangga petani dari 31,2 juta pada tahun 2003 menjadi 26,1 juta rumah tangga pada tahun 2013. 

Namun penurunan jumlah rumah tangga petani ini diikuti dengan makin meningkatnya jumlah perusahaan pertanian pada periode yang sama, yaitu dari 4.011 perusahaan (2003) menjadi 5.486 perusahaan (2013).

“Artinya, perusahaan pertanian semakin mendominasi ekonomi pertanian di Indonesia. Dengan kata lain, dalam waktu 10 tahun jumlah perusahaan pertanian meningkat 36,8%, sebaliknya rumah tangga pertanian gurem turun 25%, dan juga rumah tangga pertanian pengguna lahan turun sebesar 15,4%,” terangnya.

Tantangan pertanian keluarga di Indonesia di antaranya terletak pada penguasaan lahan. Pada tahun 2013 terdapat rumah tangga sebesar 2,38% tunakisma (tanpa lahan), 54,80% gurem (0-0,49 ha), 30,77% kecil (0,50-1,99 ha), 6,06% menengah (2.00-2.99 ha), dan 5,98% besar (3.00->10.00 ha) (Olahan Sajogyo Institute, 2019).

Lebih lanjut dijelaskannya, tantangan lain yang harus dihadapi adalah, pertanian termasuk pertanian keluarga sangat lekat dengan kemiskinan. BPS (2018) menyebutkan bahwa dari jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 25,95 juta orang (9,82%) pada bulan Maret 2018, terdapat rumah tangga miskin yang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian sebesar 49,00% (desa 64,23% dan kota 24,47%).

“Menyadari segala peluang dan tantangan tersebut, pertanian keluarga perlu dijamin pengakuan dan pemajuan keberadaan dan aktivitasnya ke depan khususnya sebagai basis produksi pangan di tingkat keluarga, nasional dan global. Sejumlah pernyataan dan aksi dilakukan baik pada level nasional hingga global untuk mendorong dan memajukan pertanian keluarga,” tegasnya. (Red/Teliksandi)

Share this:

[addtoany]

Berita Lainnya

AWPI PERS GUARD - TELIKSANDI.ID