JAKARTA, TELIKSANDI.ID – Kaum buruh dan aktivis yang bergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat alias Gerak, ditangkap polisi ketika menggelar aksi di kawasan sekitar Gedung DPR/MPR RI, Jumat (16/8/2019). Sebelumnya, mereka sempat diadang polisi dan alat komunikasinya disita saat akan berdemonstrasi tepat di gerbang gedung wakil rakyat menentang revisi Undang-Undang Nomor 13 tahun 2019 tentang Ketenagakerjaan versi pengusaha.
Kepolisian yang menjaga demo buruh di depan Gedung DPR mengancam menangkap jurnalis yang meliput demo buruh. Demo buruh itu dilakukan saat Presiden Jokowi pidato di Gedung DPR.
Supinah dan 14 orang kawannya berhimpitan di tiga unit taksi online, Jumat (16/8/2019) pagi. Mereka hendak ke Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta. Pada hari itu Presiden Joko Widodo akan menyampaikan pidato kenegaraan.
BACA JUGA:
- Peran Serta Pers Melawan Korupsi, Kalau Bersih Kenapa Risih dan Resah?
- Dirasa Lamban Seperti Siput, LSM LAPAAN RI Menilai Pembangunan Masjid Taman Sriwedari Solo Sakit Berat
Para buruh merasa tak pernah dilibatkan dalam proses revisi tersebut. Pemerintah lebih memilih mendengar aspirasi pengusaha, kata Supinah. Karena hanya berasal dari satu sudut pandang, banyak poin revisi–di antaranya penghapusan pesangon–yang dinilai memberatkan buruh.
Rombongan Supinah berhenti di pintu samping Gedung MPR/DPR. Mereka lantas berjalan kaki ke depan TVRI. Di sana sudah ada 50 anggota KSN asal Bandung.
Sialnya mereka dihadang oleh aparat berbaju putih–dari mobil yang mereka pakai berasal dari Tekab (Team Khusus Anti Bandit) Polda Metro Jaya. Para buruh kemudian ditarik, digeledah, dan ditanya berasal dari mana dengan nada tinggi.
Belum sempat dijawab, tujuh orang di antara mereka langsung ditarik aparat. “Satu orang anggota bahkan dipukul.” katanya.
Ketua Umum KSN Hermawan yang melihat keributan mendatangi aparat dari dalam TVRI. Dia telah mengatakan kalau tujuh orang itu adalah bagian dari serikatnya. Polisi bergeming, keduanya tetap diangkut ke Polda Metro Jaya.
Supinah dan tujuh orang lainnya kaget melihat aksi represif aparat. Mereka menuruti perintah polisi agar kembali pulang. Namun, ketika berjalan rupanya aparat membuntuti mereka. Sadar akan hal itu, mereka langsung berpencar mencari tempat yang aman.
Supinah mengaku sampai saat ini dia belum bisa berkomunikasi dengan tujuh orang itu. Pengacara dari LBH Jakarta pun disebut tak diizinkan mendampingi mereka.
Sekitar 50 orang buruh asal Bandung yang ada di Gedung TVRI pun dipulangkan paksa oleh aparat. Bus mereka dipanggil dan buruh digiring masuk ke dalam.
Syaefullah, seorang wartawan Vivanews melihat kejadian itu. Naluri jurnalistiknya membuat ia langsung mengeluarkan ponsel untuk merekam kejadian itu untuk keperluan pemberitaan.
Namun, tiba-tiba ia didatangi seorang anggota polisi dan dipaksa untuk menghapus video. Dia bahkan diancam akan turut diangkut jika menolak.
“Padahal, aku sudah menjelaskan dari wartawan,” kata dia di depan Gedung TVRI.
Intimidasi serupa juga dialami sejumlah wartawan lainnya. Sambil dibentak, seorang wartawan Antaranews diminta aparat agar tidak berlaku sewenang-wenang dengan mempublikasikan foto itu. Ia diminta hanya menunggu pernyataan resmi dari kepolisian.
“Tunggu rilis. Kamu jangan sewenang wenang. Lo dari tadi hapus foto-foto video lo tadi,” ujar wartawan Antara menirukan omongan polisi.
Midun, wartawan foto dari Jawapos pun sampai ditarik bajunya dan foto-fotonya dihapus paksa.
Terjadi Juga di Daerah Lain
Penghadangan aksi unjuk rasa rupanya tak hanya terjadi di depan kantor TVRI. Di Koja, Jakarta Utara polisi menghadang mobil komando milik Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI) yang hendak bergerak ke Gedung MPR/DPR dengan menggunakan mobil sampah milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Sementara itu, massa Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) juga mengalami nasib serupa. Mereka dihalangi aparat kepolisian saat hendak bergerak dari sekretariat mereka di Batuceper, Tangerang.
Sementara itu, aparat TNI pun dilibatkan dalam penghadangan di Bitung, Kabupaten Tangerang. Mereka menyetop iring-iringan motor buruh dan memaksa mereka membubarkan diri.
Sejumlah buruh diringkus aparat kepolisian dan dipaksa melepaskan pakaiannya hingga telanjang.
“Kami mempertanyakan dasar tindakan dari aparat terhadap kawan-kawan kami. Tindakan yang dilakukan aparat jelas melanggar amanat Undang-Undang Dasar mengenai kebebasan berpendapat,” kata Sekretaris Jendreral KASBI, Unang Sunarno lewat keterangan tertulis.
Tuntutan Buruh
Kendati diwarnai penangkapan dan penghadangan, unjuk rasa akhirnya tetap digelar pada Jumat siang (16/8/2019). Hanya saja, titik kumpul digeser ke Jalan Gerbang Pemuda.
Dalam orasinya, Juru Bicara Gebrak Nining Elitos menilai revisi UU Ketenagakerjaan yang berniat meningkatkan fleksibilitas kerja justru akan membuka ruang bagi pengusaha untuk melakukan PHK secara sewenang-wenang.
Revisi UU Ketenagakerjaan itu pun dinilai akan menurunkan daya tawar buruh secara signifikan melalui perluasan sistem kontrak. Hal itu makin diperparah dengan wacana penghapusan atau mengurangi pesangon secara signifikan.
“Pemerintah seharusnya memberikan perlindungan, kesejahteraan, dan keadilan bagi rakyat. Bukan justru bersama kaum pemodal menindas dan menghisap rakyat,” kata Nining dalam orasinya.
BACA JUGA:
- Sejarah Baru Pertanian Indonesia dari Negara Importir menjadi Eksportir
- Warga Karungan Geram, Dana Budidaya Belut dari Anggaran DD Diduga Diselewengkan Oleh Kades
Dia menilai masih banyak cara untuk memancing investasi masuk ke Indonesia, di antaranya dengan perbaikan birokrasi, dan pemberantasan terhadap korupsi serta pungutan liar.
Saat ini, peringkat ease of doing business Indonesia pun masih terdampar di peringkat 73 dari 190 negara pada 2019.
Hal itu disebabkan karena urusan perizinan, konstruksi, perlindungan investor minoritas, perdagangan lintas batas, dan penegakan kontrak.
“Indikator yang harus diperbaiki Indonesia tersebut tidak ada yang terkait dengan ketenagakerjaan tetapi lebih kepada kinerja birokrasi,” ujar Nining.
Dalih Polisi
Penyidik Jatanras Polda Metro Jaya Iptu Darsono saat dihubungi membenarkan soal penangkapan tujuh orang tersebut. Saat ini, mereka sedang menjalani proses pemeriksaan di Subdit Reserse Mobil (Resmob) Polda Metro Jaya.
“Kami mau cari tahu dalam rangka apa mereka di situ,” ujar Darsono.
Menurut Darsono, tujuh orang itu ditangkap karena tidak memiliki izin terlibat dalam demonstrasi di depan Gedung DPR pada Jumat (16/8/2019). “Diduga tidak ada izin dalam rangka kegiatan di situ, diduga juga dari kelompok Anarko,” kata dia.
Darsono mengatakan ketujuh orang itu bagian dari massa buruh yang menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR.
Namun, ia mengklaim bahwa tujuh orang itu bukan bagian dari massa buruh. Sementara terkait intimidasi kepada empat wartawan, Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan jika benar hal itu terjadi, maka harus jelas siapa pelakunya.
“Yang mengintimidasi siapa. Jelas atau tidak dia anggota polisi? Identitasnya jelas tidak, seragamnya jelas tidak?” kilah Dedi saat ditemui di Mabes Polri, Jumat (16/8/2019).
Dedi menambahkan bila seperti itu kejadiannya, maka korban bisa laporkan kepada Komandan Pengaman Objek di sekitar lokasi. “Senior yang bertanggung jawab di situ siapa? Maka jangan terburu-buru buat kesimpulan,” sambung Dedi.
Namun, dia mengaku Mabes Polri akan mendalami siapa terduga pelaku intimidasi itu. “Ya, nanti kami dalami dahulu siapa orang-orang itu. Tapi tidak pakaian dinas, pakaian dinas pun masih didalami juga,” ucap Dedi.
Saat dijelaskan intimidasi itu berdasarkan pengakuan korban dan telah tayang di media online, Dedi justru menyangsikan terduga pelaku merupakan polisi.
“Polisi dari mana? Tahu polisi dari mana? Pakai baju polisi bukan? Ada foto dan video itu berpakaian preman. Kalau ternyata konten itu hoaks, siapa yang bertanggung jawab?” tutur Dedi.
Namun, terkiat orang yang berpakaian preman, Dedi enggan berkomentar. “Pakaian preman atau dinas? Kalah pakaian preman saya tidak mau komentar, kalau pakaian dinas nanti akan kami dalami dari kesatuan mana,” lanjut Dedi. (Red)
Sumber: Tirto.id