JAKARTA – Pemerintah mempoyeksikan subsidi energi sepanjang 2018 jauh lebih tinggi daripada target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Dalam outlook anggaran 2018 yang dipaparkan Menteri Keuangan Sri Mulyani, belanja non kementerian/lembaga sebesar Rp 640 triliun, lebih tinggi 3 persen dari tahun lalu karena ada unsur subsidi.
“Kami masukkan subsidi energi Rp 163,5 triliun, lebih tinggi dari APBN Rp 94,5 triliun,” ujar Sri di ruang rapat Badan Anggaran DPR RI, Jakarta, Selasa (17/7/2018).
Angka tersebut meningkat 173 persen dari APBN 2018. Untuk semester I 2018, sudah terealisasi subsidi energi sebesar Rp 59,51 triliun. Sementara proyeksi untuk semester II 2018 mencapai Rp 103,98 triliun.
Kalangan analis menilai membengkaknya outlook subsidi energi pada tahun fiskal 2018 tidak hanya memberikan dampak negatif terhadap kas keuangan negara, namun juga kepada badan usaha penyalur subsidi.
Ekonom Institute for Development and Economic Finance Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan, dampak pembengkakan subsidi tahun ini memang tidak akan terlalu terasa pada tahun ini. Hal tersebut, baru akan terasa pada pelaksanaan anggaran 2019.
“Kalau sekarang defisit masih aman 2,12% outlooknya. Tapi dengan harga minyak yang terus naik, kurs rupiah pada tahun depan, ini akan menjadi beban bagi APBN,” kata Bhima kepada CNBC Indonesia, Rabu (18/7/2018).
Menurut Bhima, outlook kenaikan subsidi tahun depan tidak bisa sepenuhnya dikompensasi dari penerimaan negara, meskipun disaat yang bersamaan pemerintah memberikan isyarat untuk mengerem akselerasi belanja tahun ini.
Pada akhirnya, beban subsidi pasti akan ditanggung oleh Pertamina maupun Perusahaan Listik Negara (PLN) sebagai penyalur subsidi. Artinya, dampak pembengkakan subsidi tidak hanya dirasakan APBN, melainkan juga kas keuangan Pertamina dan PLN.
“BUMN akan menanggung selisih subsidi yaitu Pertamina dan PLN, dan ini akan menganggu kinerja BUMN karena kas keuangan mereka terganggu. Beban Pertamina sekarang sudah besar sekali,”katanya.
“Ada potensial loss Rp 18 triliun kerugian tahun ini. Ini bisa berimplikasi pada menurunnya eksplorasi atau investasi Pertamina mencari sumur baru. Kita bisa semakin terjebak dalam lingkaran setan karena harus impor migas lagi,” sambungnya.
Hal senada turut dikemukakan Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah. Menurutnya, proyeksi surplus pendapatan negara tahun ini bisa menjadi bumerang bagi pemerintah, lantaran situasi saat ini masih diliputi ketidakpastian.
“Saya tidak yakin bisa mencapai 100%. Mungkin di atas 90%. Kalau sampai 100% itu cukup berat,” tegasnya. Kementerian Keuangan sendiri merasa masih sanggup untuk menambah alokasi subsidi energi tahun ini yang diperkirakan mencapai Rp 163,49 triliun atau membengkak hingga 173% dari APBN 2018. Penambahan, akan dilakukan dari pos belanja lainnya.