OPINI, TELIKSANDI.ID – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mungkin jadi sosok paling sibuk beberapa waktu terakhir.
Berbagai kekacauan situasi politik dan keamanan nasional membuat mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ini makin sering tampil di hadapan wartawan dan memberikan keterangan, pun mengambil kebijakan guna menjamin keamanan nasional tetap terjaga.
Sayangnya, situasi politik nasional seolah bertambah buruk suasananya ketika Wiranto berbicara. Di media sosial, beberapa seruan seperti “Wiranto lebih baik diam” atau “waspadai Wiranto” bertebaran di mana-mana.
Bukan tanpa alasan, nuansa pernyataan Wiranto dianggap tidak cukup mampu menenangkan masyarakat, bahkan cenderung menampilkan sisi represif negara, alih-alih pendekatan yang persuasif.
Mungkin dari sisi isi pernyataannya, apa yang disampaikan Wiranto biasa saja atau masih dalam batas yang wajar. Namun, kadang kala publik lebih banyak terpaku pada personal orang yang menyampaikan pernyataan tersebut untuk menilai warna atau seperti apa pesan yang disampaikan harus dimaknai.
Dalam kasus Papua misalnya, pernyataan-pernyataan Wiranto justru dianggap tidak mampu menenangkan masyarakat karena latar belakangnya sebagai sosok yang pernah berada di pucuk militer dan sering dituduh sebagai pelanggar HAM.
Lalu, ketegasannya yang berfokus pada upaya menangkap oknum-oknum yang melakukan kerusuhan justru membuat negara menjadi terkesan sangat represif dalam isu tersebut tanpa sedikitpun menyinggung akar konflik sosial yang terjadi.
Begitupun dalam kasus demonstrasi mahasiswa yang menentang banyak Rancangan Undang-Undang (RUU) bermasalah. Wiranto justru meminta para mahasiswa menggunakan “cara yang etis” untuk menyuarakan pendapat tanpa perlu melakukan demonstrasi – pernyataan yang bukannya menenangkan massa, malah semakin membakar kegigihan dan menimbulkan resistensi pada pemerintah.
Pernyataan tersebut juga membuat Wiranto dianggap anti demokrasi karena melarang adanya demonstrasi dan aktivitas menyuarakan pendapat – hal yang menguatkan citranya yang identik dengan Orde Baru.
Keberadaan Wiranto sendiri di kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat memori masa lalu – katakanlah yang terjadi di seputaran tahun 1998 – selalu muncul ke permukaan. Bukan tanpa alasan, saat itu Wiranto menjabat sebagai Panglima ABRI dan dituduh bertanggung jawab atas aksi-aksi kekerasaan aparat militer yang menewaskan banyak mahasiswa.
Tak heran, kini dengan posisinya sebagai Menko Polhukam, Wiranto justru dianggap sebagai lambang era lama di kekuasaan Jokowi. Tentu pertanyaannya adalah seperti apa seharusnya Jokowi menyikapi persoalan ini?
Wiranto Buat Jokowi “Rasa” Orde Baru?
“Itu saya tidak akan lupa. Sangat terkesan!” Demikianlah penggalan kata-kata Presiden ke-3 Republik Indonesia, B.J. Habibie dalam wawancarannya di program Kick Andy ketika mengisahkan sosok Wiranto.
Habibie bercerita tentang Wiranto – yang merupakan mantan ajudannya – kala menghampirinya dan meminta agar ia diperbolehkan bergabung dengan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang didirikan mantan Menteri Riset dan Teknologi itu.
“Orang ini baik”, begitu kata Habibie. Dalam konteks kekuasaan, kesan tersebut memang searah dengan fakta bahwa Wiranto sebetulnya bisa mengambil alih pucuk kekuasaan tertinggi di negara ini pada tahun 1998.
Pasalnya, jelang pengunduran diri Soeharto, disebutkan bahwa sang presiden menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 16 tahun 1998 yang mengangkat Wiranto sebagai Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional.
Dalam Inpres tersebut memang disebutkan bahwa Wiranto bisa mengambil alih kekuasaan jika kondisi negara dalam keadaan yang genting dan chaos. Namun, alih-alih memanfaatkan Inpres tersebut, Wiranto justru membiarkan transisi kekuasaan dari otoritarianisme Orde Baru menuju Reformasi yang demokratis, berjalan tanpa keinginan kasat mata agar militer kembali berkuasa.
Dua dekade berlalu, dan kini Wiranto kembali berada di inti kekuasaan untuk jabatan yang hampir-hampir mirip, yakni Menko Polhukam. Martin Sieff dari United Press International (UPI) dalam tulisannya di tahun 1999 memang menyebut Wiranto sebagai sosok yang dilewati sejarah. Namun, sejarah itu sepertinya tak asal lewat begitu saja.
Wiranto masih membawa citra sebagai bagian dari Orde Baru di belakangnya. Citra itu sepertinya tak juga akan pudar, bahkan hingga saat ini.
Sebagai catatan tambahan, Wiranto dalam keterangan persnya pada 1998 pasca lengsernya Soeharto adalah orang yang memberikan jaminan keamanan bagi keluarga sang presiden.
Jaminan tersebut memang terlihat sederhana, namun menjadi pembeda besar dan membuat Reformasi 1998 hanya menjadi apa yang oleh pemikir kiri Rusia, Leon Trotsky disebut sebagai political revolution atau revolusi yang hanya mengganti pucuk kekuasaan saja tanpa mengubah struktur sosial di masyarakat.
Pernyataan pers Wiranto itu menghindarkan Indonesia dari chaos yang lebih besar, mencegah terjadinya revolusi sosial, dan menjamin kemungkinan keluarga Soeharto untuk kembali ke panggung politik nasional. Tak heran, citra Orde Baru kemudian menjadi cukup lengket dengan mantan Ketua Umum Partai Hanura itu.
Akibatnya, ketika kini Wiranto ada dalam pemerintahan, citra politik dan kebijakan-kebijakan Jokowi dituduh mulai mengarah pada otoritarianisme. Hal ini salah satunya ditulis oleh Tom Power dari Australian National University (ANU).
Ketika Wiranto mengumumkan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) misalnya, hal tersebut dilihat sebagai corak represi atas kebebasan mengungkapkan pendapat dan berserikat dari pemerintahan Jokowi secara keseluruhan.
Pun dalam beberapa waktu terakhir, kebijakan-kebijakan politik dan keamanan dengan Wiranto sebagai sosok sentralnya justru mengarah pada warna Orde Baru, mulai dari represifnya aparat keamanan saat menghadapi aksi mahasiswa yang berdemo, hingga pendekatan politik dalam kasus Papua.
Pembantu yang Perburuk Situasi?
Bukan tanpa alasan banyak pihak menyebut pernyataan Wiranto sebagai hal yang penting dan perlu diperhatikan.
Publik mungkin ingat Tragedi Gejayan 1998 yang menjadi pemicu demonstrasi besar-besaran mahasiswa di tingkat nasional dan berakhir pada jatuhnya rezim Soeharto. Tragedi Gejayan terjadi karena salah satunya dipicu oleh pernyataan Wiranto sebagai Panglima ABRI merangkap Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Kala itu, pada 8 Mei 1998 di Markas Besar TNI Cilangkap, Wiranto melakukan konferensi pers untuk menanggapi aksi-aksi protes yang terjadi di berbagai daerah menuntut percepatan reformasi. Para demonstran juga meminta Soeharto lengser.
Wiranto kemudian mengeluarkan pernyataan yang menganjurkan mahasiswa untuk tidak melakukan tindakan anarkis karena memperburuk keadaan dan memperburuk citra Indonesia di mata dunia internasional.
Ia juga menuding tindakan-tindakan yang disebutnya anarkis itu karena mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di jalan. Ia bahkan menyebut para mahasiswa mencari kepentingan lain di balik aksi-aksinya tersebut dan menuding pihak ketiga terlibat di belakangnya.
Wiranto kemudian memerintahkan seluruh jajaran ABRI untuk melakukan tindakan tegas terhadap perbuatan-perbuatan melawan hukum tersebut.
Sehari setelah Wiranto memberikan keterangan pers ini, aksi demonstrasi terus meluas di berbagai daerah. Salah satunya adalah yang terjadi di Yogyakarta, utamanya di jalan Gejayan. Aksi inilah yang disebut sebagai Tragedi Gejayan.
Peristiwa tersebut menewaskan Moses Gatotkaca, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tewasnya Moses menjadi pemantik aksi-aksi mahasiswa yang lebih besar di tingkat nasional.
Menariknya, pernyataan-pernyataan Wiranto beberapa waktu terakhir juga selalu berada di nada dominan yang serupa. Pernyataannya yang meminta mahasiswa tak usah berdemo misalnya, adalah contoh nyatanya.
Akibatnya, tak sedikit pihak yang mulai makin bersikap anti pada pemerintah. Citra negatif ini dengan sendirinya pada akhirnya berdampak pada penilaian publik terhadap Jokowi. Sang presiden dinilai tak lagi terbuka pada masukan publik.
Hal ini tentu berbahaya bagi kekuasaan Jokowi sendiri. Demonstrasi yang awalnya hanya memprotes RUU bermasalah, pada suatu titik akan berubah menjadi demonstrasi anti-Jokowi.
Jika itu yang terjadi, maka benarlah kata-kata James Madison di awal tulisan, bahwa pada titik tertentu orang yang berkuasa akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (Red)
Sumber: pinterpolitik