TELIKSANDI
NEWS TICKER

Dr. Al Ghozali Hide Wulakada, S.H., M.H. — Pakar Hukum Tata Negara UNISRI Solo Periksa KPU dan PDIP Solo

Minggu, 20 April 2025 | 10:13 pm
Reporter:
Posted by: khusus redaksi
Dibaca: 141

Surakarta – Teliksandi.id — Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Slamet Riyadi (UNISRI) Surakarta, Dr. Al Ghozali Hide Wulakada, S.H., M.H., menyatakan bahwa terdapat tiga subjek hukum yang paling bertanggung jawab atas dugaan penggunaan ijazah palsu oleh Joko Widodo (JKW). Ketiganya adalah Joko Widodo sendiri, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) beserta anggota koalisinya, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tanggung jawab itu mencakup tahapan Pemilukada Wali Kota Solo periode 2005–2010 dan 2010–2012, Pemilukada DKI Jakarta periode 2012–2017, serta Pemilu Presiden periode 2014–2019 dan 2019–2024.

“Publik saat ini terbelah menjadi dua kelompok besar. Pertama, kelompok pendukung JKW yang meyakini keaslian ijazah JKW berdasarkan pendekatan historis. Kedua, kelompok yang meragukan keaslian ijazah tersebut dengan pendekatan hipotesis ilmiah (scientific hypothesis) dan inferensi rasional (rational inference). Kedua kelompok ini memiliki hak kedaulatan yang dijamin konstitusi dan tidak dapat dibatasi dengan alasan hukum apa pun. Namun, jika keduanya terus berhadap-hadapan tanpa penyelesaian, maka akan menimbulkan kegaduhan yang bersumber dari tiga subjek hukum tersebut,” ungkap Ghozali.

Ia merujuk Pasal 222 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban hukum untuk memberikan keterangan kepada pejabat yang berwenang, dapat dikenai pidana.” Selain itu, Pasal 55 dan 56 KUHP menyebutkan bahwa seseorang yang secara sadar diam dan membiarkan kejahatan terjadi dapat dianggap turut serta atau membantu kejahatan.

Lebih lanjut, Ghozali menjelaskan bahwa KPU memiliki tanggung jawab administratif untuk memastikan keakuratan dan kebenaran dokumen yang diajukan oleh peserta Pemilu dan Pemilukada. Apabila KPU melakukan kesalahan dalam proses verifikasi, seperti menerima atau mengabaikan dokumen yang tidak sah, maka dapat dianggap melakukan pelanggaran hukum. Hal ini bisa berujung pada sanksi administratif maupun pidana, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilukada.

“Dalam konteks hukum tata negara, JKW dan PDIP beserta koalisinya memiliki kewajiban moral dan hukum untuk memberikan keterangan secara terbuka di hadapan pengadilan atau forum hukum lain seperti Sidang Komisi Informasi (SKI). Mereka adalah pihak yang menggunakan ijazah tersebut sebagai dokumen politik untuk mencalonkan diri dalam berbagai tahapan pemilihan,” terang Ghozali.

Ia juga mengutip beberapa dasar hukum, antara lain:

– Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.”

– Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945: “Gubernur, wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota dipilih dalam suatu pemilihan umum yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang.”

– Pasal 42 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, yang menyatakan bahwa pasangan calon diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Jika pendekatan inversi logika digunakan oleh penegak hukum, maka perbuatan KPU, PDIP dan koalisinya, serta JKW dapat diduga melanggar Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 390 KUHP sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1946, junto Pasal 550 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Berdasarkan argumentasi tersebut, Ghozali menyarankan dua langkah penting demi kepastian hukum:

1. Sidang Komisi Informasi: 

Masyarakat sipil dapat mengajukan permohonan sidang SKI. Sidang ini menghadirkan JKW, PDIP, dan KPU dari Kota Solo, DKI Jakarta, dan tingkat nasional sebagai Termohon Utama. Turut Termohon antara lain adalah lembaga pendidikan yang berkaitan, seperti SMP, SMA, dan Universitas Gadjah Mada. Sidang ini menjadi ruang pembuktian historis, ilmiah, dan rasional.

2. Intervensi Presiden:

Presiden Prabowo sebagai kepala pemerintahan dan pembina Polri memiliki kewenangan untuk memerintahkan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran hukum ini. Para ketua partai politik dan pimpinan KPU yang menjabat pada periode terkait, serta pihak lembaga pendidikan, harus dimintai keterangan secara hukum.(Uci/red)

Share this:

[addtoany]

Berita Lainnya

AWPI PERS GUARD - TELIKSANDI.ID